Harga Beli Sagu Rp50.000 Per Pohon Dinilai Menindas Petani, HKTI SBT Desak Regulasi Perlindungan

Ambonpekanews.com, BULA – Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Talimuddin Rumaratu, mengecam keras praktik pembelian sagu oleh pengusaha lokal dengan harga hanya Rp50.000 per pohon. Ia menyebut tindakan tersebut sangat merugikan dan menzolimi petani sagu di daerah yang menjadi penghasil utama sagu di Provinsi Maluku pada Sabtu, 24 Mei 2025.

“Ini bukan hanya tidak adil, tapi bentuk nyata penindasan terhadap petani. Harga segitu sangat tidak mencerminkan nilai ekonomis dari sagu sebagai komoditas utama SBT,” ujar Talimuddin kepada media.

Rumaratu menegaskan bahwa harga yang sangat rendah tersebut berbanding terbalik dengan besarnya kontribusi SBT terhadap produksi sagu nasional, khususnya di Maluku. Ia menyebut para petani adalah ujung tombak keberlanjutan komoditas sagu, dan perlakuan seperti ini berpotensi menghancurkan ekosistem pertanian lokal jika dibiarkan.

Pernyataan ini senada dengan data yang disampaikan Bupati SBT, Fachri Husni Alkatiri. Dalam beberapa kesempatan, termasuk pertemuan resmi dengan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di Jakarta, Fachri mengungkapkan bahwa 97 persen produksi sagu Maluku berasal dari SBT, dengan volume mencapai 14 ribu ton per tahun.

“Produsen sagu di Maluku itu adalah SBT. Kabupaten/kota lain hanya menyumbang tiga persen dari total produksi. Bahkan ada yang hanya menghasilkan puluhan ton per tahun,” kata Fachri dalam keterangan sebelumnya.

Dengan potensi sebesar itu, Fachri menyatakan bahwa pembangunan hilirisasi sagu menjadi bagian dari program strategis nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menteri Pertanian pun telah menyambut dengan cepat usulan pembangunan pabrik sagu di SBT, bahkan meminta Pemda menyiapkan business plan untuk industri sagu daerah.

HKTI SBT menilai momentum nasional ini harus diiringi dengan regulasi yang melindungi petani dari praktik pembelian tidak adil. “Kalau industrialisasi sagu ingin berhasil, maka hulu-nya — yakni petani — harus dilindungi. Tidak bisa ada pembeli yang seenaknya menetapkan harga tanpa mekanisme pasar yang adil,” tegas Talimuddin.

Ia juga mendesak Pemda, DPRD, dan instansi terkait agar segera membentuk sistem harga dasar dan rantai distribusi yang transparan dan berpihak pada petani.

“Kalau tidak, kita akan melihat paradoks: daerah penghasil sagu terbesar di Indonesia, tapi petaninya tetap miskin,” tutupnya. (*)

ikuti kami untuk update berita terkini di Channel Telegram Ambonpekanews.com